Sabtu, 10 Maret 2012

Ali bin Abi Thalib yang pemurah

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib karamallahu wajha pulang lebih awal menjelang asar. Fatimah binti Rasulullh Shalallahu alaihi wasallam menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena keperluan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. “Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sesenpun.
Fatimah menyahut sambil tersenyum, “Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta’ala.”
Terima kasih,” jawab Ali.

Matanya memberat lantaran isterinya begitu tawakkal. Padahal keperluan dapur sudah habis sama sekali. Pun begitu Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih. Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan sholat berjamaah. Sepulang dari sembahyang, di jalan ia dihentikan oleh seorang tua. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?”
Ali menjawab dengan heran. “Ya betul. Ada apa, Tuan?”.

Orang tua itu mencari kedalam tasnya sesuatu seraya berkata: “Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”

Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak  lagi merisaukan keperluan sehari-hari.Ali pun bergegas berangkat ke pasar.

Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya kerana Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.” Tanpa berfikir panjang, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.

Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum, berkata, “Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta karena Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan yang menutup pintu syurga untuk kita.”

Gubernur rendah hati

Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.

Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”

Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk , pedagang itu memohon maaf pada ‘kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi seorang Gubernur.

“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah Amir negeri Madain,” ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.”
Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”

Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai.

Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli.
Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?.